Sabtu, 20 Desember 2008

Masjid Jami' Pangkalpinang

Lokasi : Pusat Kota Pangkalpinang
Kordinat GPS :
2°7′46.65″S, 106°6′42.64″E
Masjid Jami’ Pangkalpinang salah satu masjid tua di Propinsi Bangka Belitung. Lokasi masjid di pusat Kota Pangkalpinang, berada diantara Jalan Kampung Dalam, di bagian timur, dan Jalan Kenangan, di bagian barat. Sisi selatan masjid merupakan kediaman ulama setempat, sisi utara masjid adalah Sungai Rangkui. Karena letaknya yang sangat strategis, biasanya menjadi tempat singgah para musafir dan pekerja kantoran yang melaksanakan sholat dhuhur.
Saat ini bangunan masjid terdiri dari tiga lantai. Lantai pertama digunakan sebagai tempat sholat. Ruang utamanya mampu menampung 600 jema’ah. Lantai kedua digunakan untuk penyimpanan kitab-kitab, buku-buku ajaran Islam, tikar dan alat perlengkapan masjid lainnya. Lantai ketiga digunakan untuk mengumandangkan adzan.
Pertama kali dibangun pada tanggal 3 Syawal 1355 Hijriah, atau pada tanggal 18 Desember 1936 Masehi. Data itu tertulis di atas meja yang terbuat dari batu marmar putih yang terletak di depan masjid. Bentuk awalnya tidak seperti sekarang ini. Keadaan masjid saat itu masih menggunakan dinding papan, berlantai semen dan beratap genteng. Letaknya juga sudah berubah, diperkirakan awalnya berada di antara tempat wudlu dan menara masjid yang sekarang. Dahulu, di sekelilingnya adalah rawa-rawa, sungai dan pepohonan rumbia.
Rencana perombakan pertama Masjid Jami Pangkalpinang adalah hasil musyawarah para tokoh agama, tokoh masyarakat, pengusaha dan pejabat pemerintah pada hari Minggu 12 November 1950 menjelang maghrib. Dari hasil musyawarah ini terbentuklah paniti pembangunan masjid dengan ketua KH. Mas’ud Nur, yang saat itu sebagai penghulu Pangkalpinang. Selain itu, nama-nama dari kepanitiaan adalah H. Abdullah Addary, H. M Ali Mustofa, H. Mochtar Jasin, H. Masdar, H Hasim, H. Idris. H Goni, Fattahullah dan yang lainnya.
Biaya yang dianggarkan untuk pembangunan Masjid Jamik sebesar Rp1,2 juta. Untuk menutupi kekurangan dana, kepanitian mengedarkan amplop yang bergambar Masjid Jamik dan diedarkan ke kampung-kampung. Namun, sebelum memberikan amplop, panitia memberikan ceramah agama dan mengutarakan maksud kepada masyarakat kampung, tujuan melakukan pengumpulan dana itu.
Kampung-kampung yang dituju untuk pengumpulan dana dibedakan menjadi Bangka Barat yang di dalamnya ada Kampung Kemuja, Petaling, Air Duren, sampai ke Muntok. Bangka Selatan yang di antaranya Koba, Nibung, Payung, Permis dan Bangka Utara seperti Baturusa, Sungailiat, hingga Belinyu. Bahkan Wakil Presiden Mohammad Hatta sempat menyumbang sebesar Rp. 1.000 untuk pembangunan masjid ini.
Sebelum melakukan pembangunan, dilakukan penimbunan kolong di dekat Sungai Rangkui yang dalamnya sekitar 10 meter dengan panjang sekitar 37 meter. Untuk menimbun kolong ini dilakukan dengan gotong royong dengan melibatkan unsur sipil dan militer.
Menurut catatan dari buku Risalah Pembangunan Mesjid Jami’ disebutkan PT Timah yang saat itu bernama perusahaan TTB, setiap minggu mengerahkan mobilnya untuk mengangkut pasir dan batu-batu. Bahkan ibu-ibu, di lokasi kolong Tambang 6 turut mencari batu-batu kerikil untuk menimbun rawa-rawa. Akhirnya, rawa-rawa sedalam 10 meter itu dapat ditimbun.
Selesai penimbunan dilakukanlah pembangunan masjid dengan panjang dan lebar 30 x 30 meter dengan tinggi menara sekitar 18 meter. Namun, karena kekurangan dana, pembangunan masjid terpaksa dihentikan sementara. Susunan kepanitiaan pun berubah sebab ada yang mengundurkan diri. Namun, ketua panitia masih dipegang oleh H. Mas’ud Nur. Anggaran dana semula Rp1,2 juta berubah menjadi Rp 1,5 juta. Jumlah ini bertambah karena harus disesuaikan dengan harga bahan dan upah pekerja.
Membuat kubah dipercayakan kepada Firma Khu Khian Lan Pangkalpinang, pengerjaan pintu, kusen dan pengecatan oleh Biro Aksi. Sementara untuk menara yang awalnya 18 meter diubah menjadi 23 meter. Akhirnya pada tanggal 3 Juni 1961 sekitar pukul 09.00 WIB oleh Kepala Kantor Urusan Agama Kabupaten Bangka, Masjid Jamik Pangkalpinang diresmikan.
Ketua panitia, KH. Mas’ud Nur beberapa bulan setelah peresmian masjid, yang tepatnya tanggal 10 November 1961, pada hari Jumat menjelang Subuh yang saat itu bertepatan dengan peringatan Hari Pahlawan 10 November berpulang ke Rahmatullah dengan tenang pada usia 51 tahun.
Masjid dengan arsitektur unik dengan empat tiang penyanggah yang terdapat di dalam masjid semakin menambah keindahan masjid. Dengan halaman yang cukup luas, pada musim haji, biasanya masjid ini digunakan pejabat untuk melepas para jamaah haji. Keindahan masjid ini semakin lengkap dengan ditempatkannya satu bedug terbesar yang ada di Pangkalpinang. Bedug ini merupakan sumbangan Mantan Kapolda Babel, Brigjen Polisi Erwin TPL Tobing yang saat masih berpangkat Komisaris Besar Polisi.

Masjid Al-Ikhlas

Lokasi : Jl. Penghulu Desa Sijuk, Kecamatan Sijuk, BelitungKordinat
GPS :
2°33′56.60″S, 107°45′54.87″E

Masjid Al-Ikhlas merupakan saksi sejarah perjuangan masyarakat Belitung melawan kolonial Belanda. Pada saat itu, masjid tua ini menjadi pusat komando perjuangan rakyat Belitung. Dalam kesederhanaan arsitekturnya, terekaman sejarah perjuangan rakyat yang tak kenal lelah dalam menghadapi penjajah.
Pertama kali dibangun pada tahun 1817 di desa Sijuk, Pulau Belitung di ujung sebelah utara. Dinding masjid berwarna coklat dan memiliki atap berundak dua. Di samping masjid terdapat ruang aula pertemuan dalam bentuk menyerupai masjid. Sehingga Masjid Al-Ikhlas seakan memiliki dua masjid kembar.
Arsitektur masjid mencirikan bangunan khas daerah Belitung. Bentuk masjid bujursangkar, memiliki ukuran 8 meter x 8 meter. Masih asli dan tetap dipertahankan hingga sekarang. Bagian mihrab agak menjorok dari bangunan utama dan diberi atap dengan bentuk yang sama dengan bangunan utamanya. Bagian atas mihrab tertera tanggal perbaikan masjid dengan huruf arab Melayu, bertuliskan “diperbaiki 1 rajab 1370 H”. Seluruh bagian masjid terbuat dari material kayu. Hanya lantainya yang sudah berganti keramik.Tak jauh dari Masjid Al-Ikhlas, sekitar 200 m sebelah barat terdapat Klenteng. Menurut penjaga masjid dan klenteng, mereka sepakat bahwa dua tempat ibadah ini dibangun oleh orang Tionghoa pada tahun yang sama. Pertama, pembangunan masjid kemudian dilanjutkan dengan pembangunan klenteng.Dari informasi tersebut sesuai dengan penelitian G.W Skinner dalam bukunya “The Colloquium on Overseas” yang menyebutkan bahwa sebelum abad 19 emigran Tionghoa yang menyebar ke wilayah nusantara kebanyakan adalah laki-laki. Di tempat-tempat baru yang mereka datangi , emigran Tionghoa ini lalu kawin dengan wanita setempat atau wanita Tionghoa peranakan. Maksudnya adalah wanita Tionghoa yang dilahirkan dari perkawinan antara laki-laki Tionghoa dan dan wanita pribumi.
Kedekatan dua tempat ibadah tersebut di atas dapat menggambarkan bahwa sejak dulu hingga sekarang kerukunan beragama warga disini sangat terjaga dengan baik. Demikian juga keakraban antara penduduk pribumi dan Tionghoa atau peranankannya.
Catatan perjalanan sejarah Belitung tidak terlepas dan saling terkait dengan sejarah Bangka. Pada kisaran tahun 1709, timah ditemukan di pulau Bangka oleh orang-orang Johor. Sejak tahun 1710, sumber-sumber timah di pulau Bangka dan Belitung dikelola Kesultanan Palembang. Untuk pengelolaannya, Sultan sampai harus mendatangkan tenaga ahli pertambangan dari negeri Cina.
Pada tahun 1717, Sultan Palembang meminta bantuan VOC untuk menumpas bajak laut di perairan Bangka-Belitung serta mencegah penyelundupan timah. Permintaan dikabulkan. Lima tahun kemudian, VOC mengajukan kerjasama yang merugikan Kesultanan Palembang, menjual timah kepada VOC dan boleh membeli timah sesuai dengan jumlah yang mereka perlukan.
Dampak perjanjian ini tidak hanya merugikan Kesultanan saja, pasar timah di Palembang pun hampir merosot tajam. Alhasil, penyelundupan timah marak kembali. Timah dijual di luar kawasan Palembang. Hal ini sangat merugikan VOC. Maka pada tahun 1803, utusan VOC, V.D. Bogarts dan Kapten Lombart bertolak ke Bangka-Belitung untuk menunjukkan ketegasan bahwa pihak kolonial adalah penguasa tunggal timah di tanah ini.Monopoli Belanda atas timah harus dihentikan. Berdasarkan Perjanjian Tuntang pada tanggal 18 September 1811 menyatakan bahwa Belanda harus menyerahkan daerah-daerah taklukannya kepada pihak Inggris, meliputi Jawa, Timor, Makassar, Palembang, dan daerah taklukan lainnya.
Tindak lanjut Perjanjian Tuntang, Gubernur Jenderal Inggris, Sir Thomas Stamford Raffles, mengirimkan utusan ke Palembang untuk mengambil alih Loji Belanda di Sungai Aur dan tambang timah di pulau Bangka dan Belitung. Namun, upaya Inggris mengambil alih Palembang dan Bangka-Belitung ditentang oleh Sultan Palembang, Sultan Mahmud Badarudin II.
Raffles mengirim kembali utusan, Mayor Jendral Roobert Rollo Gillespie ke Palembang pada tanggal 20 Maret 1812. Kedatangannya ditolak oleh Sultan Palembang. Dua kali gagal, Inggris mulai melaksanakan politik devide et impera. Mereka mengangkat Pangeran Adipati sebagai Sultan Palembang pada tahun 1812 yang bergelar Sultan Ahmad Najamuddin II. Sebagai imbalannya, Sultan Najamuddin menyerahkan Bangka-Belitung kepada Inggris. Pada tanggal 20 Mei 1812, Bangka-Belitung resmi menjadi jajahan Inggris dengan nama Duke of Island.
Kekuasaan Inggris di Bangka-Belitung hanya dua tahun. Tepat pada tanggal 13 Agustus 1814, Belanda dan Inggris menandatangani Perjanjian London, yang isinya mengembalikan wilayah jajahan Inggris di nusantara kepada Belanda, termasuk di dalamnya Bangka-Belitung.
Selama berada dalam genggaman Belanda dan Inggris, kondisi Bangka-Belitung sangat memprihatinkan. Sumber-sumber timah digali besar-besaran tanpa memperdulikan kaum pribumi dan lingkungan sekitarnya. Penipuan, pemerasan dan eksploitasi tiada batas menimbulkan kebencian penduduk asli Bangka-Belitung. Puncaknya adalah sikap perlawanan. Dibawah pimpinan Depati Merawang, Depati Amir, Depati Bahrin dan Tikal, masyarakat Bangka-Belitung melawan pendudukan kolonial dan mengusirnya. Namun, perlawanan yang dilakukan selama bertahun – tahun tidak mampu mengalahkan Belanda dari tanah Bangka-Belitung. Belanda tetap bercokol dan berkuasa di Bangka-Belitung.
Perebutan lahan tambang timah berlanjut terus hingga masa kemerdekaan. Tidak sedikit upaya masyarakat Bangka-Belitung melepaskan diri dari berbagai cengkeraman berbagai kekuasaan yang datang silih berganti. Kekayaan alam yang dimiliki hanya memberi manfaat sangat kecil kepada masyarakat setempat. Eksploitasi luar biasa pada masa lalu meninggalkan dekadensi alam yang nilainya tak terhingga.
Kini, ketenteraman dan kedamaian telah hadir di tanah Belitung. Peristiwa di masa lalu adalah pelajaran berharga. Jejak perjalanan sejarah Belitung dapat kita telusuri melalui kunjungan situs-situs bersejarah, salah satunya Masjid Al-Ikhlas.